Semiotika sebagai ilmu tentang tanda atau simbol dapat membantu terhadap pendekatan kebenaran dalam menginterpretasi al-Quran (qauly atau kauny) sebagai ajaran umat Islam. Dengan metode semiotika paradigma terhadap agama Islam dapat dilihat dari berbagai perspektif. Karena agama Islam sama sekali bukan semacam barang yang membiarkan dirinya dipahami hanya dari satu perspektif. Sehingga agama Islam tidak terkesan baku dan terhindar dari paradigma yang keliru.
Salah seorang perintis ilmu perbandingan agama akhir abad ke-sembnilan belas, Friedrich Max Muller, berulang kali menegaskan bahwa “Orang yang hanya tahu satu agama pada dasarnya tidak tahu apa pun tentang agama.” Walaupun agak berlebihan, tetapi pernyataan tadi mengandung kebenaran, sebab orang yang sekedar mengetahui tradisi agamanya dari perspektif dia mempraktikkan agamanya sendiri, relatif hanya tahu sedikit tentang fenomena agama.
Apabila semiotika dipahami sebagai ilmu tentang tanda maka al-Qur'an khususnya konsep langue atau lughat yang historis menjadi bidang subur bagi analisis semiotis, bukan parole atau firman yang a-historis. Tanda memainkan peran penting dalam agama dan itu dengan berbagai cara yang perlu dibedakan. Pertama, dalam agama dunia ciptaan dengan berbagai aspeknya sering digambarkan sebagai tanda Allah. Kedua, kitab-kitab wahyu yang menjadi salah satu dasar kebanyakan agama, dapat dianggap sebagai himpunan tanda yang menunjukkan makna tertentu yang perlu digali dalam proses penafsiran. Ketiga, teks-teks wahyu pada umumnya dianggap sebagai himpunan tanda yang menyampaikan pesan atau amanat Ilahi. Dan keempat, pembicaraan mengenai agama dapat dianalisis sebagai himpunan tanda (Johan Meuleman:1996;35).
Secara filosofis, teks-teks agama merupakan teks-teks manusiawi lantaran ia terkait dengan bahasa dan peradaban dalam rentang sejarah tertentu, yaitu masa formatisasi dan produksinya sehingga keberadaan teks-teks tersebut merupakan teks-teks historis, dalam pengertian maknanya tidak terlepas dari sistem bahasa-budaya di mana teks dianggap sebagai bagian darinya. Dari sudut ini bahasa dan lingkungan kulturalnya merupakan rujukan dan tafsir untuk menemukan maknanya.
Misalnya, dalam surat al-Baqarah ayat 65 disebutkan, bahwa umat Bani Israil pernah melanggar perintah Nabi Musa, yaitu ketika mereka diperintah beribadah kepada Allah pada hari Sabtu justru mereka pergi bernelayan ke laut, karena pada hari itu tidak seperti hari-hari biasanya ikan di laut luar biasa banyak. Akhirnya Allah mengutuk mereka, “Jadilah kamu kera yang hina”. Sebagian ahli tafsir memandang bahwa ini sebagai suatu perumpamaan, artinya mereka menyerupai hati kera karena sama-sama tidak menerima nasehat dan peringatan. Namun berbeda dengan pendapat jumhur, mereka betul-betul berubah menjadi kera, hanya tidak beranak, tidak makan dan minum, dan mereka hidup tidak lebih dari tiga hari lagi.
Secara denotatif makna qiradah adalah kera, tetapi jika kembali kepada konsep Barthes bahwa sebuah tanda selain memiliki tingkatan makna denotatif juga mengandung makna konotatif. Barangkali dalam ayat di atas yang dimaksud dengan tanda “kera” adalah satu bentuk ungkapan metaforik-simbolik. Sehingga kaum Bani Israil yang melanggar titah Nabi Musa tidak ubahnya seperti kera. Artinya, mereka memiliki sifat-sifat seperti kera, misalnya rakus, tamak, serakah, membangkang, dan seterusnya. Inilah yang di maksud dengan pengertian makna pada tataran kedua, yaitu makna konotatif. Sebuah proses dari petanda yang membentuk penanda baru untuk menghasilkan significance.
Sebagai bahan perbandingan juga perhatikan surat al-A'raf ayat 166, “Maka tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang mereka dilarang mengerjakannya, Kami katakan kepadanya, “Jadilah kamu kera yang hina”. Secara nalar, akal kita tidak bisa membaca kalau Allah mengutuk kaum Bani Israil lantaran mereka tidak mau taat kepada perintah-Nya, karena mereka sombong, congkak, dan takabbur. Kita tahu dan meyakini bahwa Allah adalah Maha Kasih, Maha Sayang, Maha Pemurah, dan Maha yang lainnya. Dengan demikian, sangat jelas kalau yang dimaksud dengan qiradah pada ayat di atas adalah bahasa kias, atau bahasa perumpamaan (simile/tasybih).
Pelajaran yang dapat diambil dari al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 65 dan surat al-A'raf ayat 166 ini adalah siapapun saja, apakah itu penguasa, pemimpin, pejabat, birokrat, pengusaha, rakyat jelata, dan bahkan pengemis pun ketika mereka tidak mau mendengar dan mentaati perintah-perintah Allah dan Rasul-Nya maka mereka tidak berbeda dengan kondisi umat Nabi Musa, yaitu kaum Bani Israil yang dikutuk menjadi “kera”.
Di dalam al-Qur'an kita temukan dalam banyak ayat mengenai kata fuqara' dan masakin. Secara normatif, kita melihat fuqara' dan masakin sebagai kelompok yang perlu dikasihani dan diberikan zakat atau sedekah. Pada hal kata fuqara' dan masakin merupakan simbol atau tanda (penanda/signifiant) yang perlu diinterpretasi maknanya (petanda/signify) sehingga bisa menemukan rujukan yang jelas (referen) dalam konteks yang lebih real, faktual, serta sesuai dengan kondisi sosial, ekonomi dan kultural. Begitu juga dengan istilah yatim, secara syar'i adalah orang yang ditinggal ayahnya. Dalam rumah tangga seorang ayah berfungsi untuk memberikan perlindungan, keamanan, kesejahteraan, dan sebagainya. Tatkala orang yang mampu memberikan segalanya ini telah tiada maka sang anak disebut yatim karena ia sangat membutuhkan pertolongan terkait dengan masa depannya. Fenomena seperti ini sering kita temukan dalam bentuk yang berbeda, namun memiliki substansi yang sama. Seseorang dengan kekuasaan dan jabatan yang disandangnya terkadang menutup muka ketika melihat orang-orang yang terisolir akibat kebijakan-kebijakan politis.
Yasraf Amir Piliang (2003;306) menjelaskan, Islam melihat dua hal ini sebagai sesuatu yang dapat dipadukan dan saling mengisi dengan harmonis. Pertama, mengikuti sebagai sesuatu yang wajib konvensi atau kode yang telah ditegaskan secara eksplisit dalam al-Qur'an dan Sunnah Nabi, menerimanya sebagai sesuatu yang transenden, dan sekaligus menjadikannya sebagai satu sistem kepercayaan atau ideologis, serta berupaya mengekspresikannya melalui sistem signifikasi bahasa. Pengertian ini tidak berbeda dengan istilah yang dikenal dalam studi ushul fiqh, yaitu qathiy al-dilalah, suatu kata yang memiliki makna yang pasti, jelas, dan tidak memiliki kemungkinan-kemunkinan makna lain.
Kedua, menggali kemungkinan-kemungkinan pembaharuan penanda atau petanda melalui pintu ijtihad, untuk hal-hal yang belum ditegaskan secara eksplisit (dalam al-Qur'an dan Sunnah), serta terbuka bagi interpretasi (terlebih masalah-masalah muamalah) dengan menggunakan model significance, sejauh tetap menguji kompatibilitasnya dengan kode-kode yang lebih tinggi. Istilah ini semakna dengan zhaniy al-dilalah, yaitu sebuah kata yang memiliki kemungkinan-kemungkinan makna lain (interpretatif), atau kata yang memiliki ruang dan wilayah untuk melakukan ijtihad dalam rangka mencari pemahaman baru.
Misalnya, Islam menganjurkan kepada pemeluknya untuk berpakain dengan menutup aurat. Pakaian di dalam Islam sebagai satu tanda yang harus bersandar pada sistem tanda pada tingkat ideologis, berlandaskan konvensi dan kode tertinggi (untuk kesopanan dan kepatuhan), dan ini harus tercermin pada pertandaan. Akan tetapi, proses penafsiran pakaian sebagai satu sistem bahasa pada tingkat yang lebih rendah, misalnya dikaitkan dengan konteks musim, tren, mode, atau dikaitkan dengan budaya dan kultur setempat maka dapat dilakukan melalui proses dekonstruksi secara bebas dari makna yang konvensional, melalui permainan dekonstruksi dan significance bentuk, warna, motif, corak yang kreatif selama ia tidak bertentangan dengan kode ideologis. Di sini pertandaan bisa bersifat sewenang-wenang. Jadi, interpretasi terhadap “pakaian” sebagai tanda akan menemukan referensi yang beraneka sesuai dengan perkembangan budaya.
Dilihat dari sudut pandang semiotika, sebagian besar syari'ah atau perintah Tuhan mengandung konvensi atau kode-kode, serta seperangkat tanda dan cara pengungkapan tertentu. Namun, konvensi tersebut dihasilkan berdasarkan penafsiran sesuai dengan budaya dan kultur setempat. Dalam Islam ada tiga sumber hukum, yaitu al-Qur'an, Sunnah dan ijtihad. Jika dari sumber pertama tanda belum memperlihatkan kode dan makna yang eksplisit, maka makna dan kode tersebut harus dicari pada Sunnah Nabi. Dan jika tidak ditemukan pada keduanya, maka makna dan kode bisa dilakukan dengan berijtihad (sesuai dengan Hadis Mu'adz bin Jabal), yaitu dengan melakukan pembongkaran dan dekonstruksi guna menemukan kode-kode tertentu sesuai dengan budaya yang ada demi kemaslahatan hidup manusia. Namun yang perlu diingat, bahwa ijtihad di sini sangat bergantung pada seperangkat tanda tak eksplisit dari al-Qur'an dan Sunnah Nabi, sehingga hasil penafsiran dan pemahaman tersebut tidak menerobos dan menundukkan kedudukan pesan dan makna yang bersifat transenden dan ideologis.
Posting Komentar
Terimakasih atas komentarnya^_^